Tegak lurus dengan langit, ia
berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum
fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu
dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat
dibalaskan.
Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati
masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah
berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban.
Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang
di langit. Sesudah itu, seperti 2x2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia
lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang
tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan
dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.
Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang
bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya.
Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata
sehari-hari.
Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia,
tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut
mencakup ikhwal tentang ia sendiri.
Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu,
dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu
semasa perang .... Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat
seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik.
Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas.
Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa,
si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan,
mungkin ia pulang bawa harta atau nama.
Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada
itu sudah meninggal pula. Pesannya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan
salam saya. Sampaikan juga, saya masih cin."
Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya
sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu
film India.
Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak
sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan
hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya.
Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut
diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama
ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran,
kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.
Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus
melakukan tagihan-tagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan,
selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab
sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab
dahulu. Jangan sekarang ini! Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk
jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti
toh sejarah juga.
Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah.
Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia
adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia
lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia
modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap
manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan
mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang
kecenderungan zaman ini.
Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. "Telah sekian tahun
kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa
berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?”
Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di
luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar
tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya
penuh prosa PGP.
Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini
berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu,
mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.
Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge
dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si
ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan,
kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu
gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah
menghilang.
Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan
kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia
bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian
suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat
ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih
sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja ....
Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang
ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang
suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak
berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa.
Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam
gaya film India meninggalkan pesan padanya, "Kalau ayahmu pulang nanti,
sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ...."
Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini
setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak
dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur
hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di
dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang ...
mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada
kejadian apa-apa sama sekali selama ini.
Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya,
kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis.
Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis
berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki.
Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika
ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia
berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu,
ia ceritakan saja kejadian sebenarnya.
Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah
kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan "Ayahku hilang" itu.
Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang
baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan,
memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para
undangan yang sempat datang.
Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama,
makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit
paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui
juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin
...."
Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa.
Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang
terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi,
tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya
tentang mereka sebagai "keluarga malang". Apa boleh buat! Dewa-dewa
di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti
itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam
babak terakhir tragedi keluarganya itu.
Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya
tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke
rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan
berkata dengan suara datar, "... Aku ayahmu."
Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini
benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke
mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17
tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas
sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah
menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya?
Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong?
Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi?
Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab
itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan
ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa
saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang.
Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke
kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang
selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel
pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan
lagu-lagu kesukaan ibunya almarhumah. Selesai bersalin pakaian, ia duduk lagi
di kursi besar tadi.
Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang
tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.
Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua
bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh
tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya
sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu.
Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu
kuduknya tegak. Mata! Mata itu!
Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa
laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa
saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola
listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling
bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari
terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata
itu!
Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah
selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh
karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam
pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh
melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.
Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan,
ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata ibunya, yang
justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata
ayahnya.
Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris....
"Ayah!"
Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya
dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali
berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput
itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang
kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut,
kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang
diempaskan ke pangkuannya itu ....
Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang,
tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka
kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh
kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya.
Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia
lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif
permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua
itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.
Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang
ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia
menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu
misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak.
Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun
kerangka-kerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak
akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur
melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat
hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri.
Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap
jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan
bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang
mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia
tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia!
Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu
jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka
adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu.
Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah
sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki
kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang
mengantarnya ke kubur.
Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah
bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia
sekarang ini.
Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau
sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah
mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang
terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti
dirinya.
Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang
sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan,
baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya
kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah
lama tersedia satu gagasan itu—walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya
agak menggigil juga.
Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa
selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam
kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua
inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan
benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga
tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya
hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat
mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi!
Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin
itu—lingkaran-lingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua,
selesailah ia mengatasi gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini dalam
dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir
ini.
Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi
dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya,
pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat
teliti.
Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang
pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali,
ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali.
Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah,
kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat
terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti
susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya.
Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu!
Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan
yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah
longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan.
Kemudian ia lari.
Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang!
Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul
bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin
daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya.
Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan
dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang.
Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari
terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah
itu ia akan pergi ke kantor polisi.
Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum
yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak
lurus dengan langit.***
(dinukil dari Tegak Lurus Dengan Langit - Kumpulan Cerpen Iwan Simatupang,
Penerbit Buku Kompas, 2004)