Rabu, 09 November 2011

penulis fiksi indonesia mutakhir


pada kenyataannya tidak semua penulis fiksi Indonesia mutakhir berhasil menerbitkan karya-karya mereka dalam bentuk buku (karya tunggal), khususnya untuk genre cerpen. Hanya segelintir pengarang yang beruntung dapat menerbitkan buku mereka, baik dengan prosedur penerbitan formal-konvensional maupun secara swakelola (self-publishing).
Sepanjang dekade pertama tahun 2000-an ini, beberapa fenomena menarik yang dapat saya catatkan dari perkembangan fiksi Indonesia mutakhir, antara lain munculnya suatu fenomena yang dengan konotasi tertentu sering disebut “sastrawangi”. Kemunculan gejala baru yang kontroversial ini agaknya dipicu oleh terbitnya karya-karya fiksi beraroma seksual dari tangan segelintir pengarang perempuan muda (dengan konotasi cantik, seksi, berpendidikan tinggi, dan bergaya hidup metropolis). Kemunculan gejala ini terutama ditandai dengan terbitnya novel Saman (Ayu Utami, 1998), kemudian disusul Larung (Ayu Utami, 2001), Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch (Dinar Rahayu, 2002), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng.), Dadaisme (Dewi Sartika, 2004), Nayla (Djenar Maesa Ayu, 2005), juga kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! (Djenar Maesa Ayu, 2002), Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (Djenar Maesa Ayu, 2004), dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (Djenar Maesa Ayu, 2006).
Karya-karya tersebut sempat menimbulkan pro-kontra di kalangan pembaca maupun para pengamat dan kritikus sastra kontemporer di tanah air, setidaknya sepanjang tahun 2002—2005. Sebab, kecuali dari satu sisi dipandang telah memberikan kesegaran baru dalam estetika sastra (fiksi) Indonesia (baik dari segi teknik bercerita maupun sentuhan stilistiknya), di sisi lain kontroversi itu terutama disulut oleh keberanian para pengarangnya dalam “dobrakan radikal” mereka mengungkapkan ketabuan dan keliaran seksual secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, dan terasa sangat vulgar sehingga cenderung menjurus pada pornografi.[7]
Kendati persoalan seks dalam sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang baru, tetapi dibandingkan dengan para pengarang pendahulunya (khususnya N.H. Dini dengan dua novelnya, Namaku Hiroko dan Pada Sebuah Kapal), kelompok penulis sastrawangi ini tampak lebih berani dalam hal “menelanjangi” tubuh mereka sendiri, tak terkecuali “melumat-lumat” kebugilan tubuh lawan jenisnya. Mereka, agaknya sekadar ingin berbeda dan mencari sensasi, dengan sengaja mengeksploitasi kata-kata yang menurut ukuran moral seharusnya tidak diungkapkan secara vulgar —antara lain (maaf): penis, zakar, kontol, klentit, atau vagina. Di satu pihak, oleh beberapa pengamat yang mendewa-dewakan nilai seninya —l’art pour l’art (baca: sastra untuk sastra)— karya-karya tersebut dipandang sebagai suatu kemajuan dalam perkembangan estetika sastra Indonesia atau seni-budaya pada umumnya. Namun, di lain pihak, bagi kaum moralis (agamis) karya-karya demikian dinilai sebagai karya antimoral dan bahkan kurang-ajar karena telah melanggar wilayah sakral manusia yang seyogianya ditabukan. Sebab, dengan segala ketelanjangannya itu, karya-karya jenis ini dinilai dapat meruntuhkan tatanan moral bangsa, terutama di kalangan generasi muda.[8]
Kecuali trend sastrawangi yang lumayan menghebohkan itu, fenomena lainnya yang tampak mulai merasuki dunia fiksi Indonesia terkini adalah masuknya ikon-ikon teknologi informasi mutakhir semacam internet dan telepon genggam yang menjadi bagian integral dalam membangun makna sebuah karya sastra. Terlepas dari soal pro-kontra ihwal muatan seksualitasnya yang cenderung antimoral itu, pada beberapa halaman penutup novel Saman, misalnya, Ayu Utami dengan lincahnya mengeksplorasi dialog antartokoh (antara Saman dan Yasmin) dengan memanfaatkan surat elektronik (e-mail, salah satu fasilitas internet) sebagai media komunikasi. Sementara, pemanfaatan handphone dengan fasilitas short message system (sms)-nya antara lain telah dieksplorasi Djenar Maesa Ayu dalam cerpen bertajuk “SMS”.
Dalam kajian sosiologi sastra, munculnya gejala semacam ini dipandang sebagai salah satu penanda atau merupakan representasi kemajuan peradaban yang telah dicapai manusia pada masa penciptaannya; bahwa karya-karya sastra pada dasarnya dapat diposisikan sebagai artifak kebudayaan yang relatif mampu mencatat atau merefleksikan kondisi zamannya sehingga pada akhirnya ia dapat berfungsi sebagai sejarah alternatif, di samping fungsi karya sejarah dalam arti sebenarnya. Dengan begitu, dalam konteks ini, teori sosiologi sastra yang memandang sastra sebagai cermin masyarakat (sebagaimana yang dikemukakan Ian Watt, misalnya) tampak menjadi kian jelas relevansinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar